Raja langit redup dan
tenggelam masuk kembali kedalam singgasanannya. Namun disudut hingar bingar
kota yang tak pernah mati, terlihat sesosok wanita yang sedang mendekap erat buah hatinya. Siksaan hidup yang menderanya membuat raut
wajahnya terlihat lebih tua dari usianya. Banyaknya garis kerutan diwajahnya
yang rapuh menandakan sebanyak itu pula derita yang ia rasakan. Kulitnya yang
terbakar api matahari menandakan bahwa ia tak punya sandaran dalam hidupnya.
Tubuhnya yang ringkih hanya terbalut kain kumal yang tak layak untuk seorang
manusia. Tak ada yang peduli padanya! Bahkan seolah tak ada yang tahu bahwa ia
ada di dunia ini. Mungkin mereka anggap, dia hanyalah kerikil kecil yang dapat
tertendang kesana kemari, terlempar dan terinjak hingga dia menjerit dan
terluka! namun tetap tak ada yang peduli padanya bahkan untuk mendengarnya
saja, mereka pura-pura tak mendengar. Disekitar hidupnya yang ada hanya
kebisingan yang sunyi. Ia ingin menangis menumpahkan semua deritanya namun air
matanya tak dapat mengalir seakan telah habis sebagai saksi betapa dunia telah
menyiksa dan membuangnya. Ia terluka menahan perih melihat anaknya tak berdaya
dalam pelukannya. Ia harus berjuang sendirian ditengah kerasnya hidup yang
kejam terhadap siapapun yang tak kuat. Dia sudah tak punya apa-apa. Hanya jiwa
yang ia miliki.Dia tak ingin seperti ini! dia tak ingin dianggap sebagai sampah
yang menjijikan! Dia telah berusaha untuk lepas dari jeratan siksa, dia telah
berjuang melawan takdir untuk mendapatkan kelayakan hidup, tapi apa daya
tubuhnya yang ringkih sudah tak sanggup untuk menahan derita batin.
Apa yang ia rasakan saat ini
sangat berbalik seratus delapan puluh derajat dengan apa yang dirasakan oleh
para penguasa negri. Perutnya yang melilit perih dan menahan sakit menandakan
tak ada sesuatupun yang masuk kedalam lambungnya namun itu semua berbanding
terbalik dengan perut–perut buncit
para penguasa rakus yang
hanya diisi oleh pundi-pundi uang rakyat tanpa mereka
ingin tahu apa yang dirasakan rakyat. Air mata darah yang setiap detik ia
teteskan, berbeda dengan darah para penguasa! yang ada di setiap aliran darah
mereka hanyalah ambisi yang tak pernah puas mengejar tahta dan kedudukan untuk
kepentingan semata. Rakyat hanya untuk dijadian tumbal kekuasaan. Jadi jangan
salahkan kalau rakyat pesimis, jangan salahkan pula jika rakyat menjadi sinis,
rakyat tidak pernah butuh janji manis yang hanya akan berakhir dengan cara
sadis.
Tiba-tiba anaknya merintih...,merintih
kesakitan. Anaknya belum makan sejak kemarin. Dan kini yang
ada ditangannya hanyalah sekepal nasi sisa yang ia dapatkan dari seogok sampah tadi pagi. Hanya ini yang ia punya untuk makan anaknya. Ia
suapkan sesuap nasi ke dalam mulut anaknya dengan penuh kasih sayang. Belum
sempat nasi itu masuk kedalam kerongkongan kecil anaknya, nasi itu telah
termuntahkan kembali dari mulutnya yang pucat . Ia rasakan seluruh tubuh
anaknya semakin tak berdaya. Ia letakan dengan lembut anaknya pada selembar
koran bekas yang ia temukan tadi pagi. Kemudian ia mencari sungai untuk
membasahi sebuah kain yang telah kumal. Ia basuh wajah anaknya dengan penuh
cinta. Andai saja ia bisa menukar keadaan, biarlah ia yang merasakan derita.
Tapi apa daya ia tak kuasa. Ia gendong anaknya dan di belai anaknya dengan
lembut, ia cium kening anaknya dengan segenap kasihnya. Kemudian anaknya diam
dalam dekapannya, dekapan hangat seorang ibu yang kasihnya tak pernah mati dan
ia pun turut terlelap melupakan sejenak perih dan deritannya.
Dia teringat kembali akan nasib malang yang menimpanya dua tahun yang lalu,
disaat dia tengah hamil tujuh bulan, suaminya dengan tega mencampakkan dan
meninggakannya karena perempuan lain. Mungkin kelihatnnya terdengar klasik
namun kejadian seperti ini sangat banyak dialami oleh para kaum wanita. Seorang
suami yang seharusnya mengayomi dan menafkahi istrinya malah menterlantarkan,
apalagi waktu itu istrinya sedang mengandung darah dagingnya. Kekerasan dalam
rumah tangga sudah banyak terjadi, namun terkadang hanya dianggap sepele oleh
sebagian banyak orang, padahal bukan
hanya fisik yang diderita oleh para korbanya tapi juga siksa mental pun ikut
mendera.
Di kota ini dia hanyalah seorang diri, dia tak
mau kembali ke kampung halamanya. Dia malu dengan keluarga dan warga
kampungnya, apa kata mereka kalau melihat dia pulang tanpa didampingi suaminya
padahal dia tengah mengandung. Apalagi sebelum ia dan suaminya memutuskan untuk
meninggalkan pekerjaannya di desa, dia sesumbar akan berhasil di kota perantauan.
Namun apa yang terjadi, kini dia hanya menjadi satu diantara beribu-ribu
gelandangan yang menambah sesaknya kota metropolitan ini.
Ufuk pagi telah datang dari
peraduannya. Menyadarkan setiap insan untuk melakukan hidupnya kembali. Namun
disudut kota terdapat dua
sosok yang tak tersadar akan
datangnya mentari pagi hari ini. Tetesan embun dinginpun tak cukup kuat
membangunkan mereka. Tubuh wanita itu telah kaku dan dingin sambil mendekap
anaknya yang telah meregang nyawa. Terlihat banyak orang yang berkerumun,
menyaksikan kematiannya dan anaknya. Apa dengan keadaan inilah keberadaannya
baru disadari oleh mereka! apa dengan keadaan inilah, orang-orang mau
melihatnya. Kini ia tak usah lagi menahan derita dan pahitnya hidup. Kini ia
tak usah lagi merasakan keperihan akibat tercampakkan. Dan ia kini dapat
tersenyum lega memandang raganya. Bersama malaikat maut ia dan jiwanya pergi jauh meninggalkan sebuah
kehidupan dalam kematian. Kehidupan yang mungkin jauh lebih baik daripada dunia
fatamorgana.
♠♠♠♠♠♠♠♠
Nb: tengoklah sedikit ruang kecil dalam hidupmu
0 komentar:
Posting Komentar