Aku
tak pernah bertemu orang seperti dia. Dia terlihat bagaikan pangeran-pangeran
yang ada dalam dongeng yang sering aku bayangkan. Aku melihatnya sebagai mimpi
yang tiba-tiba hadir dalam relung hidupku. Aku terlalu sulit mendiskripsikan apa yang aku rasakan. Semuanya
terasa begitu aneh namun menyenangkan. Ya! Dia adalah… hemmm…namanya pun aku
tak tahu, hari ini aku pertama masuk MOS di salah satu SMP favorit di kotaku.
Aku paling gak suka hari pertama karena semuanya begitu baru bagiku, gedung
sekolah yang baru, seragam baru, teman-teman yang baru dan semua begitu asing
bagiku. Ketika itu semua anak baru dikumpulkan dalam satu aula, disana
berkerumun banyak anak yang sibuk mencari teman baru, memperkenalkan dirinya
atau mungkin hanya say hay saja, tapi
itu tak membuatku tertarik hingga ketika mataku tertuju pada seorang anak
laki-laki dan entah mengapa aku tertarik untuk memperhatikannya. Tubuhnya
tinggi membuatnya terlihat diantara anak-anak yang lain dan senyumnya ya
ampun…suwer aku gak bohong manis banget… dan sejak saat itu hari-hari ku
dipenuhi segala sesuatu tentang dirinya.
*******
“Tet…Tet…Tet…”
Bel berbunyi 3X menandakan waktunya pulang sekolah dan itu bagaikan alunan symphony Ludwig van Beethoven karena suara itu mengakhiri pelajaran matematika yang memusingkan. Segera saja ku bereskan buku-buku tebal yang menumpuk di atas bangku, lalu ku masukkan semua kedalam tas ransel merah.
"Sar, ntar sore jadi ngerjain PR bareng gak?" Ujar Dyah teman sebangku ku. Dia gadis berkacamata yang pintar plus ketua kelas dan aku beruntung bisa duduk satu bangku dengannya namun gara-gara duduk sebangku dengan dia aku pun harus duduk di bangku deretan paling depan karena dia maunya duduk dibangku deretan depan. Pertama karena dia gak kelihatan tulisan di papan tulis kalau dia duduk di belakang, ke dua karena dia adalah anak pintar jadi menurutnya dengan duduk di depan maka akan lebih berkonsentrasi mendengarkan penjelasan guru. Tapi tidak bagiku, duduk di depan membuatku tidak leluasa, mau menguap aja gak bisa dan yang paling nyebelin adalah kalau guru lagi melemparkan pertanyaan dan kenapa anak-anak yang duduk di depan digariskan untuk menjawabnya terlebih dahulu, derita itu tak berhenti sampai disitu, berhubung waktu itu SMP masih mengunakan papan tulis jadi kalau gurunya selesai menerangkan di papan tulis pasti anak-anak yang duduk didepan yang disuruh menghapus dan apesnya tugas menghapus papan tulis selalu saja jatuh padaku.
“Oh…jadi
dong, nanti jam 3 sore aku ke rumah mu ya” Ujar ku.
“Okey Sar, sip…” Sahut Dyah.
Akhirnya kami
pun keluar kelas. Jika sudah waktu pulang kelas begini sekolah yang tadinya
sunyi senyap tiba-tiba mendadak riuh ramai. Aku pun lekas meninggalkan kelas
dan segera menuju samping garasi sepeda motor. Ku lihat anak laki-laki itu
menghampiri sebuah sepeda motor warna abu-abu metalik. Ditengah siang bolong
seperti ini pun dia masih terlihat ganteng. Dia masuk dikelas 1C dan disitu dia
menjadi ketua kelas. Ah sayang aku tak sekelas dengan dirinya karena aku
dikelas 1F jadinya aku tidak bisa mengenalnya lebih jauh. Tapi entah mengapa
hari demi hari aku semakin mengaguminya. Mungkin orang bilang ini hanya cinta
monyet, namun aku tak peduli, aku begitu asyik dengan perasaanku sendiri,
mendadak aku bagaikan sherlock holmes karena aku tahu semua tentang dia, mulai
rumahnya di mana, hobinya apa, makanan kesukaannya apa, warna favoritnya apa, everything about him, I know…
Namun
anehnya hingga detik ini aku hanya bisa memandanginya dari jauh tanpa berani
menegurnya, tanpa berani menyapanya. Yang tahu perasaanku ini hanya teman
sebangku si Dyah. Ya! mungkin aku terlalu pengecut atau mungkin aku memang
tidak ditakdirkan untuk bisa bersamanya, bercanda bareng, ngerjakan PR bareng
atau bahkan sekedar ngobrol dengannya. Semua itu terasa jauh bagiku karena
waktu kelas dua pun kita tidak sekelas, dia masuk dikelas 2F dan aku masuk
dikelas 2C. Argggghhhh…kenapa sih gak bisa sekelas dengan dia. Dan lagi-lagi
aku hanya bisa memandanginya dari jauh. Melihatnya lewat di depanku saja sudah
membuat jantungku berdegup kencang dan denyut nadi ku meningkat menjadi lebih dari 94 kali permenit. Jujur dia
adalah salah satu alasan aku rajin masuk sekolah, hehehe. Semua isi diary ku
dipenuhi namanya, segala sesuatu tentangnya yang mungkin menurut orang lain tak
penting namun bagiku penting. Hingga pada suatu hari aku memberanikan diri
untuk memberinya sebuah hadiah kecil di hari valentine, sebuah coklat berbentuk
hati pada kotak cantik berwarna merah.
*******
“Gimana Tik, coklatnya udah lucu belum?” tanyaku berulang-ulang dan mungkin itu membuat sahabatku Tika menjadi bosan.
“Ya
ampun…Sari, tu bungkusnya dari tadi kamu buka tutup buka tutup, ntar rusak lho,
lagipula yang namanya coklat kan yang penting rasanya bukan lucu gak lucunya,
emangnya boneka” sahut si ika sambil sedikit manyun melihat kelakuanku yang
hiperpanik.
“Aduh
Tik, tapi aku malu, sumpah aku gak pernah ngelakuin ini sebelumnya”
“Jangan
bilang kamu gak jadi ngasih, Sari…santai aja kenapa sih, kamukan cuma
ngasih coklat dan itu gak akan membuat duniamu kiamat, lagipula tu coklat kalau
gak jadi dikasihkan ke dia, buat aku aja deh, aku akan menerimanya dengan suka
cita” katanya sambil tertawa.
“idih…itu
sih kamunya yang doyan…”
Akhirnya
apa yang terjadi, akupun tidak berani memberikannya sendiri, aku titipkan
dengan temanku yang kebetulan sekelas dengan si Dia. Aku tetap menjadi
pengecut…
*******
Hingga
pada akhirnya di hari itu tanggal 28 november 2003, aku bertekat untuk tidak jadi pengecut,
aku ingin dia tahu kalau aku suka padanya, aku hanya ingin dia tahu, aku tak
peduli dia suka padaku apa tidak, karena aku hanya ingin semua yang terganjal
dihati bisa keluar semua. Mungkin sebenarnya dia tahu kalau aku suka padanya
karena sering banget dia memergokiku mencuri pandang ke arahnya, ditambah
coklat valentine yang pernah ku berikan padanya. Tapi jika aku tidak
mengatakannya secara langsung rasanya dada ini sesak banget dan ku putuskan aku
harus mengatakannya.
Sewaktu dia mau
menuju kelasnya, ku cegat dia di tengah lapangan upacara.
“Bisa
kita bisa bicara sebentar” ujarku gugup, panas dingan gak karuan.
“Iya,
ada apa?” jawabnya datar.
“Aku
mau ngomong sesuatu” ujarku terbata-bata. Ya ampun sumpah kakiku lemes banget,
rasanya aku pingin kabur, berlari dan bersembunyi.
‘’Katakan
saja disini” ujanya tanpa ekspresi sekali lagi.
“A..ku
su…ka kamu…” sambil bergetar bibirku mengucapkan itu, aduh aku lebih memilih
mengerjakan PR fisika bertumpuk-tumpuk daripada disuruh mengucapkan kata-kata
barusan.
“Maaf, tapi aku
gak punya perasaan yang sama denganmu” diapun dengan tenang meninggalkanku.
Dan aku, apa
yang terjadi padaku, aku cuma bisa mematung ditengah lapangan kayak orang bego,
rasanya tubuhku kaku semua, mati rasa dari ujung rambut hingga ujung kaki, aku
tak peduli pada terik matahari yang menyengat ubun-ubunku, sekarang yang kurasa
hanya mataku terasa panas menahan air mata yang jatuh, hatiku hancur, sakit,
perih, mending aku dimaki-maki seratus orang daripada mendapat perlakuan dari
orang yang ku kagumi seperti ini. Dan hingga pada suatu hari aku mendapatkan
kabar bahwa dia jadian dengan adik kelasnya, dunia ku pun semakin runtuh dan
hancur.
*******
Delapan tahun semua itu telah berlalu, ku lihat lagi buku diary usang
berwarna merah hati, warnanya sudah pudar dan banyak dari lembarannya yang
telah terlepas namun kenangan dari isinya hingga kini tak pernah lekang. Tak
sengaja ku temukan lagi di tumpukkan buku-buku SMP yang mau aku loakan. Aku
merasakan perih yang sama seperti yang ku rasakan delapan tahun yang lalu. Namun
juga ku rasakan lagi mimpi yang dulu pernah memberikan sejuta rasa bagiku. Seperti
apa dia sekarang, laki-laki yang pernah menghiasi masa putih biruku, laki-laki
yang juga pernah membunuh hatiku sampai mati, dan jujur aku kembali
merindukannya…
Dedicated to “Angin”,
Terimakasih pernah berhembus di hati ku
0 komentar:
Posting Komentar