I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kelapa
sawit sebagai tanaman penghasil minyak kelapa sawit (CPO- crude palm oil) dan
inti kelapa sawit (CPO) merupakan salah satu tanaman perkebunan yang menjadi
sumber penghasil devisa non-migas bagi Indonesia. Prospek komoditi minyak
kelapa sawit yang cukup cerah dalam perdagangan minyak nabati dunia telah
mendorong pemerintah Indonesia untuk memacu pengembangan areal perkebunan
kelapa sawit.
Berkembangnya
sub-sektor perkebunan kelapa sawit di Indonesia tidak lepas dari adanya
kebijakan pemerintah yang memberikan berbagai insentif. Terutama kemudahan
dalam hal perijinan dan bantuan subsidi investasi untuk pembangunan perkebunan
rakyat dengan pola PIR-Bun dan dalam perijinan pembukaan wilayah baru untuk
areal perkebunan besar swasta.
Sementara
pertumbuhan sub-sektor perkebunan kelapa sawit telah menghasilkan manfaat
ekonomi yang penting, pengembangan areal perkebunan kelapa sawit ternyata
menyebabkan meningkatnya ancaman terhadap keberadaan hutan alam tropis
Indonesia. Hal ini terjadi karena pengembangan areal perkebunan kelapa sawit
utamanya dibangun pada areal hutan konversi.
Para
investor lebih suka untuk membangun perkebunan kelapa sawit pada kawasan hutan
konversi karena berpotensi mendapatkan keuntungan besar berupa kayu IPK (Ijin Pemanfaatan Kayu) dari
areal hutan alam yang dikonversi. Kayu IPK sangat dibutuhkan oleh industri
perkayuan, karena produksi kayu yang berasal dari HPH semakin berkurang dari
tahun ke tahun
Sebagai
akibatnya, kegiatan konversi hutan telah menjadi salah satu sumber perusakan
hutan alam Indonesia, bahkan menjadi ancaman terhadap hilangnya kekayaan
keanekaragaman hayati ekosistem hutan hujan tropis Indonesia.
Dampak
negatif terhadap lingkungan menjadi bertambah serius karena dalam praktiknya
pembangunan perkebunan kelapa sawit tidak hanya terjadi pada kawasan hutan
konversi, melainkan juga merambah ke kawasan hutan produksi, bahkan di kawasan
konservasi yang memiliki ekosistem yang unik dan mempunyai nilai keanekaragaman
hayati yang tinggi.
Praktik
konversi hutan alam untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit seringkali
menjadi penyebab utama bencana kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Hal ini
terjadi karena pada kegiatan pembersihan lahan (land clearing) untuk
membangun perkebunan kelapa sawit dilakukan dengan cara membakar agar cepat dan
biayanya murah.
Berbagai
dampak negatif terhadap eco-function tersebut yang dapat dihasilkan oleh ekosistem hutan alam
tropis – menimbulkan biaya yang tidak sedikit pada pihak ketiga, sehingga
selayaknya diperhitungkan sebagai biaya lingkungan.
Permasalahan lainnya, pembangunan areal perkebunan kelapa
sawit skala besar juga telah menyebabkan dipindahkannya masyarakat lokal yang
tinggal di dalam wilayah pengembangan perkebunan kelapa sawit. Ganti rugi tanah
pada areal pengembangan kelapa sawit tersebut seringkali menimbulkan
permasalahan karena tidak dibayar dengan harga yang ‘adil’ dan ‘pantas’. Di
samping itu, sering terjadi penyerobotan (pencaplokan) lahan masyarakat adat
oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit.
Berbagai
permasalahan ini telah menyulut permasalahan konflik sosial yang berkepanjangan
dan sangat merugikan semua pihak terutama bagi masyarakat yang mengalami
dampak negatif akibat pembangunan perkebunan kelapa sawit sehingga biaya
sosial yang harus dikeluarkan menjadi sangat tinggi.
Namun,
perusahaan perkebunan swasta tidak pernah memasukan biaya lingkungan dan biaya
sosial ini dalam Analisis finansial proyek pembangunan perkebunan
kelapa sawit. Oleh karena itu, para pembuat kebijakan dan khususnya para
pengambil keputusan di pemerintahan dalam mengevaluasi (menilai) analisis
biaya dan manfaat proyek pembangunan perkebunan kelapa sawit harus turut
memperhitungkan berbagai biaya lingkungan dan biaya sosial tersebut.
1.2
Tujuan
Tujuan
studi analisis valuasi ekonomi investasi perkebunan kelapa sawit ini adalah:
1. Memeriksa
kelayakan finansial dan kelayakan ekonomi investasi perkebunan kelapa sawit
sebagai salah satu alternatif pilihan penggunaan lahan.
2. Mengidentifikasi
dan menilai asumsi-asumsi dasar yang digunakan dalam analisis ekonomi yang
dilakukan.
3. Mengevaluasi
proses dan dasar pengambilan keputusan investor swasta dalam melakukan
investasi perkebunan kelapa sawit.
4. Membandingkannya
dengan proses keputusan yang berdasarkan pertimbangan sosial, ekonomi dan
lingkungan, yaitu dengan turut memperhitungkan (internalize) semua biaya
yang terkait dalam investasi perkebunan kelapa sawit, termasuk biaya lingkungan
dan biaya sosial.
II.
METODE DAN PENDEKATAN
Analisis
valuasi ekonomi investasi perkebunan kelapa sawit dilakukan melalui pendekatan
sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi
berbagai faktor dan peubah (variables) utama yang berpengaruh terhadap
investasi perkebunan kelapa sawit. Berdasarkan data yang telah dipublikasikan
dan perkembangan pergerakan (trend) nilai suatu peubah dilakukan pemeriksaan
terhadap nilai-nilai serta kisaran nilai yang dapat diterima.
2. Mengembangkan
perhitungan dalam suatu lembaran kerja (spreadsheet dengan menggunakan Excel)
sedemikian sehingga memungkinkan untuk melakukan penyesuaian peubah-peubah
secara fleksibel. Semua perhitungan nilai peubah biaya dan manfaat proyek
dilakukan dalam satuan per unit (per hektar). Selanjutnya dilakukan perhitungan
nilai peubah indikator pembanding, misalnya nilai kini bersih (NPV, net
present value).
3. Mengidentifikasi
kasus ‘dasar’ (‘base’ case) yang mendeskripsikan kondisi (situasi) rata-rata
proyek investasi perkebunan kelapa sawit perusahaan swasta.
4. Melakukan
analisis fleksibilitas dan analisis pulang pokok (break-even analysis) untuk
melihat dimana keputusan investasi berubah dari “ya” ke “tidak”
5. Melakukan
pemeriksaan terhadap berbagai dampak ekternalitas lingkungan (menilai biaya
lingkungan yang mungkin terjadi), dan nilai-nilai (dari suatu keberadaan sumberdaya
alam hutan) yang tidak dapat dihitung (intangible values).
6. Mengdentifikasi
kisaran nilai dimana nilai-nilai eksternalitas lingkungan dan intangibles menjadi
penting dalam pengambilan keputusan.
7. Melakukan
analisis perkiraan terhadap biaya potensial yang mungkin dapat terjadi sebagai
akibat kegiatan pembangunan perkebunan kelapa sawit.
8. Membandingkan
NPV yang dihasilkan dari alternatif penggunaan lahan lainnya (misalnya
agroforestry, pertanian subsisten, dan perkebunan karet hutan) dengan NPV yang
dihasilkan dari bisnis perkebunan kelapa sawit, dengan turut memperhitungkan
biaya lingkungan yang terjadi.
III.
DATA
Dalam
studi ini, sebagai kasus dasar untuk perhitungan analisis valuasi ekonomi
investasi perkebunan kelapa sawit, digunakan data sebagai berikut:
₋
Luas perkebunan kelapa
sawit 10.000 ha (perkebunan skala besar)
₋
Lahan perkebunan kelapa
sawit (Hak Guna Usaha) berasal dari hutan konversi
₋
Memiliki pabrik kelapa
sawit (PKS), yaitu pabrik pengolahan tandan buah segar (TBS) menjadi CPO dan
KPO
₋
Masa produktif tanaman
kelapa sawit selama 25 tahun, gestation period 3 tahun.
₋
Tingkat produksi:
o TBS:
20-29 ton/ha (produktifitas rendah sampai tinggi).
o Pohon
kelapa sawit mulai memproduksi TBS pada tahun ke-4
o Produksi
TBS maksimum dicapai pada tahun ke-10 sampai tahun ke-18, dan mulai mengalami
penurunan pada tahun ke-19.
o Tingkat
ekstraksi TBS menjadi CPO: 24% (maksimum)
o Tingkat
ekstraksi TBS menjadi KPO: 5% (maksimum)
₋
Biaya tanam dan
pengolahan (pada kelas lahan produktifitas tinggi)
o
Investasi tanaman:
1.317 US$/ha
o
Pemanenan: 202 US$/ha
(tahun produksi maksimum)
o
Pemeliharaan 120 US$/ha
o
Pupuk 248 US$/ha
o
Tranportasi 100 US$/ha
(tahun produksi maksimum)
o
Pengolahan TBS 161
US$/ha (tahun produksi maksimum)
o
Biaya overhead 134
US$/ha (termasuk PBB, pajak lokal dan retribusi)
o
Depresiasi 329 US$/ha
₋
Harga CPO (c.i.f.
Rotterdam): 531,81 US$/ton
₋
International transport
cost: 40 US$/ton
₋
Harga CPO (f.o.b.
Indonesian port): 491,81 US$/ton
₋
Harga KPO (f.o.b.
Indonesian port): 600 US$/ton
₋
Biaya transport CPO/KPO
dari lokasi PKS ke pelabuhan ekspor: 5 US$/ton
IV.
Asumsi-asumsi
Dasar yang Digunakan dalam Studi ini
·
Dalam studi ini diasumsikan
bahwa areal pembangunan perkebunan kelapa sawit
berasal dari kawasan hutan, diasumsikan bahwa areal HPK yang dikonversi
untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit adalah areal bekas tebangan HPH
(logged-over area). Pada areal hutan konversi ini dilakukan pembukaan lahan
dengan cara tebang habis, tanpa bakar.
·
Diasumsikan bahwa pada areal
hutan alam yang dikonversi tersebut terdapat sejumlah pohon dari berbagai macam
jenis, dengan diameter pohon yang beragam, diantaranya masih terdapat
pohon-pohon dengan diameter batang pohon lebih dari 40 cm.
·
Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK)
diberikan oleh pemerintah kepada perusahaan yang akan membangun perkebunan
kelapa sawit.
·
Diasumsikan pada areal hutan
konversi potensi volume kayu dari semua jenis pohon, dengan diameter pohon lebih dari 10 cm,
rata-rata sebesar 120 m3/ha. Asumsi ini berlaku pada areal hutan konversi yang
terletak di pulau Sumatera dan Kalimantan.
·
Diasumsikan bahwa sekitar 30%
kayu IPK mempunyai diameter pohon lebih dari 30 cm, sehingga dapat dimanfaatkan
sebagai bahan baku industri penggergajian dan/atau industri kayu lapis.
Sebagian besar kayu IPK (sampai 70%) dimanfaatkan sebagai bahan baku kayu
serpih untuk industri pulp.
·
Diasumsikan keuntungan bersih
(net profit) hasil penjualan setiap meter kubik kayu IPK adalah sebagai berikut:1) untuk kayu bulat dengan diameter
lebih dari 30 cm keuntungan bersih yang
diperoleh sebesar US$ 35/m3, sedangkan
untuk kayu bulat berdiameter 10-30 cm diasumsikan keuntungan bersihnya
yang bisa diperoleh rata- rata sebesar US$ 10/m. Dalam
perhitungan keuntungan bersih telah mencakup biaya yang dikeluarkan oleh
perusahaan untuk memperoleh IPK.
V.
Definisi
Beberapa Istilah yang Digunakan
Biaya lingkungan (environmental costs) adalah semua biaya yang timbul karena terjadinya kerusakan lingkungan dan/atau dampak eksternalitas negatif yang merugikan sebagai akibat pelaksanaan kegiatan tertentu. Misalnya, berbagai dampak negatif terhadap lingkungan yang disebabkan dilaksanakannya pembangunan perkebunan kelapa sawit dengan cara mengkonversi hutan alam, seperti hilangnya keanekaragaman hayati.
Biaya sosial (social costs), adalah semua biaya yang timbul sebagai akibat terjadinya permasalahan dan/atau konflik sosial dalam pelaksanaan kegiatan tertentu. Misalnya biaya yang harus dikeluarkan karena terjadinya konflik lahan antara perusahaan perkebunan dengan masyarakat lokal yang tinggal di lokasi pembangunan perkebunan kelapa sawit.
Nilai guna langsung (direct use values) adalah nilai yang bersumber dari penggunaan secara langsung oleh individu/masyarakat atau perusahaan terhadap komoditas hasil hutan, misalnya berupa hasil hutan kayu, hasil hutan non-kayu, fauna dan manfaat rekreasi alam. Nilai guna tidak langsung (indirect use values) adalah nilai yang bersumber dari penggunaan secara tidak langsung terhadap manfaat fungsional proses ekologis (eco-function) dari hutan, yang berjasa untuk mendukung kehidupan mahluk hidup. Jasa hutan dihasilkan dari suatu proses ekologis oleh komponen biofisik ekosistem hutan.
Biaya lingkungan (environmental costs) adalah semua biaya yang timbul karena terjadinya kerusakan lingkungan dan/atau dampak eksternalitas negatif yang merugikan sebagai akibat pelaksanaan kegiatan tertentu. Misalnya, berbagai dampak negatif terhadap lingkungan yang disebabkan dilaksanakannya pembangunan perkebunan kelapa sawit dengan cara mengkonversi hutan alam, seperti hilangnya keanekaragaman hayati.
Biaya sosial (social costs), adalah semua biaya yang timbul sebagai akibat terjadinya permasalahan dan/atau konflik sosial dalam pelaksanaan kegiatan tertentu. Misalnya biaya yang harus dikeluarkan karena terjadinya konflik lahan antara perusahaan perkebunan dengan masyarakat lokal yang tinggal di lokasi pembangunan perkebunan kelapa sawit.
Nilai guna langsung (direct use values) adalah nilai yang bersumber dari penggunaan secara langsung oleh individu/masyarakat atau perusahaan terhadap komoditas hasil hutan, misalnya berupa hasil hutan kayu, hasil hutan non-kayu, fauna dan manfaat rekreasi alam. Nilai guna tidak langsung (indirect use values) adalah nilai yang bersumber dari penggunaan secara tidak langsung terhadap manfaat fungsional proses ekologis (eco-function) dari hutan, yang berjasa untuk mendukung kehidupan mahluk hidup. Jasa hutan dihasilkan dari suatu proses ekologis oleh komponen biofisik ekosistem hutan.
Nilai pilihan (option
value) adalah alternatif pilihan
saat memanfaatkan sumber
daya alam. Merupakan manfaat yang “disimpan atau
dipertahankan” untuk kepentingan yang
akan datang, dalam satu generasi manusia. Misalnya: perlindungan
keanekaragaman hayati, sumber
daya genetik, perlindungan spesies,
keragaman ekosistem.
Nilai warisan (bequest value) adalah nilai yang diberikan masyarakat yang hidup saat ini terhadap suatu daerah tertentu agar tetap terjaga untuk dimanfaatkan oleh generasi mendatang. Contohnya: konservasi habitat, upaya preventif terhadap perubahan yang tidak dapat diperbaharui.
Pengendali gangguan (disturbance regulation), adalah kemampuan dan keterpaduan respon ekosistem terhadap berbagai perubahan lingkungan. Contohnya: perlindungan terhadap badai, pengendalian banjir dan kekeringan, dan berbagai aspek respon habitat terhadap perubahan lingkungan yang utamanya dikontrol oleh struktur vegetasi.
Pengatur
tata air (water regulation), mengatur
aliran-aliran air. Contohnya:
menyediakan air
untuk pertanian (misalnya, irigasi),
atau untuk proses
industri (misalnya pabrik pengolahan), atau transportasi.
Penyediaan air (Water supply)
adalah penangkapan dan
penyimpanan air. Contohnya:
penyediaan air melalui daerah aliran sungai, penampungan air,
dan lapisan air tanah.
Pengendali erosi (erosion control), adalah penahanan
(pemeliharaan) tanah di dalam suatu
ekosistem. Contohnya: pencegahan
kehilangan lapisan atas
tanah oleh tiupan angin, aliran
permukaan tanah, atau
proses pemindahan yang
lainnya, menahan endapan tanah
di danau atau lahan basah.
Pembentukan lapisan tanah (Soil formation) adalah proses-proses pembentukan tanah. Contohnya:
pelapukan batuan melalui perubahan cuaca dan akumulasi bahan organik.
Siklus hara (nutrient cycling), adalah
penyimpanan, siklus internal, pemrosesan, dan perolehan berbagai unsur hara.
Contohnya: pengikatan nitrogen. N, P dan siklus hara fundamental yang lainnya.
Perlakuan pemrosesan limbah (waste treatment) adalah pemulihan
berbagai unsur hara yang bergerak (mobile) dan pelepasan atau penghancuran
unsur hara majemuk yang berlebihan. Contohnya: proses
pembusukan limbah, pengontrolan polusi,
dan penawar racun.
Nilai pada masa kini (present
value) adalah nilai yang diperoleh dari
hasil penjumlahan semua biaya (costs) tahunan yang dikeluarkan (atau manfaat/benefits
yang didapat) selama
jangka waktu umur
proyek setelah didiskonto
dengan tingkat suku bunga
tertentu.
Nilai kini bersih (net present value/NPV), adalah nilai
pada masa kini yang diperoleh dari selisih present
value of benefits dikurangi dengan present
value of costs .
n Bt
- Ct
NPV = ∑
t=1
(1 + i)t
di mana:
Bt =
benefits, manfaat atau semua
penerimaan proyek pada tahun ke-t
Ct =
costs, biaya atau semua pengeluaran
proyek pada tahun ke-t
t = tahun proyek, t = 1, 2, 3, .., 28
i =
tingkat suku bunga diskonto (discount
rate: 10%)
6.1 Biaya dan Manfaat Bagi Perusahaan
Dalam
biaya dan manfaat bagi perusahaan menggunakan proyek investasi perkebunan
melalui aliran kas (cash-flow) kelapa sawit selama jangka waktu umur perkebunan. Semua biaya yang dikeluarkan dan
manfaat yang diterima oleh perusahaan dalam pelaksanaan kegiatan proyek
perkebunan kelapa sawit diidentifikasi dan dicatat secara rinci di setiap tahun
dan selama umur proyek. Aliran kas
tersebut meliputi:
a. Aliran pengeluaran (outflow)
Dalam aliran ini adalah semua biaya per tahun yang dikeluarkan
selama pelaksanaan kegiatan. Biaya-biaya tersebut meliputi:
1) Mendapatkan Hak Guna Usaha (HGU) lahan perkebunan kelapa sawit
2) Investasi tanaman kelapa sawit
3) Pemeliharaan tanaman
4) Pemanenan TBS (Tandan Buah Segar)
5) Pemupukan
6) Pengangkutan TBS ke pabrik pengolahan
7) Investasi pembangunan pabrik
8) Biaya pengolahan TBS menjadi CPO/ Crude Palm
Oil (Minyak Sawit) dan KPO (Inti
Sawit)
9) Biaya pengangkutan CPO dan KPO dari lokasi PKS (Pabrik
Kelapa Sawit) ke pelabuhan ekspor
10) Biaya overhead
11) Biaya depresiasi
b. Aliran penerimaan
(inflow)
Dalam aliran ini merupakan semua penerimaan perusahaan per tahun
selama pelaksanaan kegiatan dari tahun ke-0 sampai dengan tahun ke-28. Penerimaan dalam
nilai uang, diperoleh dari hasil penjualan CPO dan KPO yang dijual di pasar domestik maupun yang diekspor.
6.2. Analisis Finansial Investasi Perkebunan Kelapa
Sawit
Analisis finansial bertujuan
untuk menilai apakah pelaksanaan suatu kegiatan tertentu
layak secara finansial
atau dapat memberikan keuntungan finansial
secara maksimum bagi
perusahaan. Kelayakan finansial suatu kegiatan ditunjukan oleh nilai NPV (net present value),
B/C
ratio (Benefit-Cost Ratio), atau IRR (Internal Rate
of Return) yang ketiganya memiliki hubungan yang positif. Apabila NPV positif artinya nilai B/C ratio lebih besar dari satu dan nilai
IRR juga lebih
besar dari tingkat suku bunga diskonto (discount rate) yang dipergunakan dalam
perhitungan nilai NPV.
Dalam perhitungan NPV, apabila keseluruhan manfaat yang dihasilkan
selama jangka waktu umur kegiatan lebih besar daripada keseluruhan biaya
investasi, maka nilai NPV positif. NPV yang bernilai positf menunjukkan bahwa
kegiatan secara finansial layak
untuk dilaksanakan karena dapat memberikan
keuntungan secara finansial bagi perusahaan.
Berdasarkan hasil perhitungan analisis finansial, dengan tingkat
suku bunga diskonto (discount rate)
sebesar 10%, proyek perkebunan kelapa sawit skala besar (10.000 ha)
memberikan nilai NPV
sebesar US$ 72,62
juta (dan nilai
IRR sebesar 26,35%). Dengan demikian, perkebunan kelapa
sawit skala besar (walaupun tidak memasukan penerimaan/keuntungan perusahaan dari
hasil penjualan kayu
IPK) secara finansial sangat menguntungkan.
Sesungguhnya sebelum investasi perkebunan
kelapa sawit dimulai (grup) perusahaan telah menerima
keuntungan besar berupa kayu IPK yang
berasal dari kegiatan pembukaan lahan hutan konversi. Oleh karena itu, keuntungan yang diperoleh dari kayu IPK harus
turut diperhitungkan sebagai penerimaan perusahaan perkebunan kelapa sawit.
Apabila penerimaan perusahaan yang berasal dari
kayu IPK turut diperhitungkan
dalam analisis finansial maka nilai NPV proyek perkebunan kelapa sawit
meningkat menjadi US$ 93,62 juta. Jadi, penerimaan perusahaan bertambah sebesar
US$ 21 juta yaitu keuntungan bersih dari hasil penjualan kayu IPK yang berasal
dari areal hutan konversi seluas 10.000 Ha. Keuntungan besar dari penjualan kayu IPK tersebut cukup
untuk biaya investasi
tanaman kelapa sawit seluas 10.000 Ha
dan bahkan sesungguhnya juga dapat dipakai untuk biaya
investasi pembangunan pabrik
kelapa sawit.
Dengan keuntungan yang besar tersebut menyebabkan perusahaan
kelapa sawit setelah mendapatkan kayu
tidak memperdulikan adanya HGU (Hak Guna Usaha) IPK. Hal tersebut
menyebabkan pembangunan perkebunan
kelapa sawit
tidak dilakukan sesuai dengan perencanaan.
Sehingga, kejadian yang terjadi adalah lahan perkebunan tersebut telah berubah menjadi lahan terlantar berupa semak belukar
dan/atau lahan kritis yang baru.
6.3 Biaya Lingkungan dan Biaya Sosial
Konversi lahan hutan menjadi lahan
kelapa sawit, secara umum menyebabkan kerugian yaitu :
- Kerugian karena hilangnya nilai guna langsung (direct-use value) seperti kerugian karena hasil hutan kayu, hasil hutan non-kayu, dan jasa rekreasi alam
- Kerugian karena hilangnya nilai guna tidak langsung (indirect-use value). yaitu kerugian karena hilangnnya manfaat yang berhubungan dengan fungsi ekologis (eco-function) yang dapat diberikan oleh suatu ekosistem hutan alam.Diantaranya adalah: pengendali gangguan (disturbance regulation), pengaturan dan penyediaan air (water supply/regulation), mengendali erosi tanah (erosion control), pembentukan lapisan tanah (soil formation), siklus hara (nutrient cycling), dan perlakuan pemrosesan limbah (waste treatment)
Berbagai dampak negatif akibat kerugian yang disebabkan
oleh konversi hutan tropika menjadi lahan kelapa sawit sesungguhnya merupakan
kerugian ekonomi seharusnya dibayarkan oleh perusahaan tidak pernah turut
dihitung dalam analisis finansial perkebunan kelapa sawit.
Besarnya biaya yang timbul karena berbagai kerugian
akbiat konversi hutan menjadi lahan kelapa sawit adalah biaya lingkungan.
Besarnya biaya lingkungan (high value) akibat polusi dan serangan
hamadan penyakit diasumsikan berdasarkan perkiraan, yaitu sebesar 2,5% dari
total biaya yangdikeluarkan oleh perusahaan untuk proyek perkebunan kelapa
sawit.
Selain itu, konversi hutan juga menyebab hilangnya
berbagai manfaat ini tergolong ke dalam manfaat yang sulit diukur nilainya
dengan uang (intangible benefits) seperti manfaat berupa nilai pilihan (option
value), nilai budaya (cultural value) dan nilai warisan (bequest
value). Oleh karena itu, kerugian yang timbul akibat hilangnya manfaat
yang bersifat intangibles ini digolongkan kedalam intangible costs.
Dalam studi ini, besarnya intangibles (high value) diasumsikan
sebesar 1% dari total biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk proyek perkebunan
kelapa sawit.
Dalam kasus ini, tidak hanya menyebabkan dampak negatif
bagi lingkungan tapi bisa saja menyebabkan masalah sosial. Misalnya karena
terjadinya konflik lahan antara perusahaan perkebunan dengan masyarakat lokal
yang tinggal di lokasi sekitarperkebunan kelapa sawit. Konflik sosial yang
terjadi dapat menyebabkan perusahaan harus mengeluarkan biaya tambahan untuk
perlindungan (cost of protection) terhadap kegiatan operasi perusahaan,
utamanya untuk menghindari agar tidak terjadi perusakan (bahkan pembakaran)
aset-aset perusahaan.
Biaya-biaya seperti ini tergolong dalam biaya sosial
yaitu semua biaya yang timbul akibat terjadinya permasalahan dan/atau konflik
sosial dalam pelaksanaan kegiatan proyek pembangunan perkebunan kelapa sawit.
Biaya sosial yang harus dibayar oleh suatu perusahaan juga dapat disebabkan
oleh semakin mahalnya biaya premi yang harus dibayar oleh perusahaan. Misalnya,
untuk meminjam modal investasi perkebunan kelapa sawit, sebagai akibat risiko
usaha yang tinggi, perusahaan terpaksa harus membayar biaya premi risiko yang
tinggi (high risk premium). Dalam studi ini, besarnya biaya sosial (high
value) diasumsikan sebesar 3% dari total biaya yang dikeluarkan oleh
perusahaan untuk perkebunan kelapa sawit. Sedangkan low value dan reasonable
minimum value-nya sengaja dibuat kecil atau merupakan nilai yang sangat
konservatif.
6.4 Analisis Valuasi Ekonomi
Investasi Perkebunan Kelapa Sawit
Analisis valuasi ekonomi yaitu analisis yang memasukan
berbagai biaya lingkungan dan biaya sosial yang mungkin atau potensial terjadi
turut diperhitungkan dalam menilai kelayakan investasi suatu kegiatan berdasarkan
kriteria kelayakan investasi yang sama, yaitu berdasarkan NPV. Dalam hal ini
layak tidaknya investasi tergantung pada besarnya nilai biaya lingkungan dan
biaya sosial serta cara perhitungannya.
- Investasi layak pada tingkat suku bunga diskonto = 10% (NPV bernilai positif sebesar US$ 53,73), apabila besarnya biaya lingkungan danbiaya sosial yang diperhitungkan adalah reasonable minimun value.
- Investasi tidak layak pada tingkat suku bunga diskonto = 10% (NPV bernilai negatif minus US$ sebesar 55,54 juta,) apabila besarnya biaya lingkungan dan biaya sosial yang diperhitungkan pada awalnya adalah high value.
6.5. Analisis Pulang Pokok untuk
suatu Kisaran Biaya-biaya Lingkungan dan Sosial
Gambar 4 memperlihatkan grafik
analisis pulang pokok perkebunan kelapa sawit skala besar, yaitu besarnya NPV
setelah dikurangi dengan biaya lingkungan dan biaya social yang seharusnya
dibayar oleh perusahaan. Berdasarkan analisis finansial (total biaya lingkungan
dan biaya sosial dianggap nol), besarnya NPV tanpa penerimaan kayu IPK (Ijin
Pemanfaatan Kayu) sebesar US$ 72,62 juta, sedangkan besarnya NPV dengan
memperhitungkan penerimaan kayu IPK (Ijin Pemanfaatan Kayu) sebesar US$ 93,62
juta. Besarnya NPV semakin berkurang dengan semakin meningkatnya total biaya
lingkungan dan biaya sosial. Total biaya lingkungan dan biaya sosial
diasumsikan semakin meningkat nilainya, yaitu mulai dari nol dan selanjutnya meningkat
dengan interval sebesar US$ 50/ha, sampai nilai NPV investasi perkebunan kelapa
sawit hasil perhitungan analisis finansial sama dengan nol.
Besarnya NPV (dengan memperhitungkan
penerimaan dari kayu IPK (Ijin Pemanfaatan Kayu)) mencapai nilai nol pada saat
total biaya lingkungan dan biaya sosial sebesar $900/ha. Bila penerimaan dari kayu
IPK (Ijin Pemanfaatan Kayu) tidak diperhitungkan, NPV mencapai nilai nol pada
saat total biaya lingkungan dan biaya sosial sebesar $700/ha. Kesimpulannya,
jika total biaya lingkungan dan biaya sosial sebesar $900 investasi proyek
perkebunan kelapa sawit skala besar (10.000 ha) mencapai titik pulang pokok (break-even
point). Dengan demikian, bila reasonable minimum value (yaitu US
$458, lebih kecil dari $900) dipercaya sebaga total biaya lingkungan dan biaya
sosial yang (sesungguhnya) terjadi dan harus dibayar oleh perusahaan, maka
investasi perkebunan kelapa sawit skala besar secara finansial layak (NPV
positif). Tetapi, bila high value (yaitu US $ 2.305, lebih besar dari
$900) merupakan total biaya lingkungan dan biaya sosial yang (sesungguhnya) terjadi
dan harus dibayar oleh perusahaan, maka investasi menjadi tidak layak (NPV negatif).
6.6. Analisis Pulang Pokok untuk
Nilai-nilai Penggunaan Lahan Alternatif
Suatu hamparan lahan dapat
dipergunakan untuk berbagai keperluan penggunaan lahan guna menghasilkan
manfaat ekonomi. Oleh karena itu, penerimaan perusahaan yang menggunakan
hamparan lahan untuk areal perkebunan kelapa sawit seharusnya diperbandingkan
dengan pendapatan yang bisa dihasilkan bila lahan tersebut dipergunakan untuk
alternatif penggunaan lahan lainnya. Berdasarkan perhitungan analisis finansial
proyek perkebunan kelapa sawit skala besar menghasilkan NPV berkisar antara $
7.262/ha sampai $ 9.362/ha. Dengan demikian, pemanfaatan lahan (per hektar)
untuk perkebunan kelapa sawit dapat menghasilkan reasonable minimum value (yaitu
US $458; lebih kecil dari $550) dipercaya sebagai total biaya lingkungan dan
biaya sosial yang (sesungguhnya) terjadi dan harus dibayar oleh perusahaan,
maka investasi perkebunan kelapa sawit skala besar layak untuk dilaksanakan
(NPV positif). Perkebunan kelapa sawit sesungguhnya tidak perlu dibangun pada
areal hutan produksi konversi (hutan alam) yang masih produktif. Hutan konversi
yang digunakan untuk berbagai kepentingan pembangunan non-kehutanan seperti
perkebunan, transmigrasi, pertanian, hutan tanaman industri dan lainnya terus
mengalami penurunan dari seluas 30 juta ha pada tahun 1984 menjadi 8,4 juta ha
pada tahun 1997 (Manurung dan Saragih, 1999). Oleh karena itu, seharusnyalah
lahan-lahan yang tidak produktif yang “dikonversi” menjadi areal
perkebunan kelapa sawit. Dengan demikian, lahan yang tidak produktif tersebut
dapat direhabilitasi dan dibuat menjadi produktif, sehingga dapat menghasilkan manfaat
ekonomi yang tinggi. Oleh karena itu, konversi hutan alam untuk pembangunan perkebunan
kelapa sawit harus dihentikan.
Pada areal lahan yang tidak
produktif, nilai guna langsungnya rendah karena potensi kayu dan non-kayunya rendah
akibat terjadinya degradasi dan/atau deforestasi. Demikian pula, tingkat
keanekaragaman hayati pada areal lahan yang tidak produktif juga rendah.
Perusahaan diasumsikan tidak mendapatkan kayu IPK (Ijin Pemanfaatan Kayu) dari
areal lahan tidak produktif. Oleh karena itu, bila perkebunan kelapa sawit
dibangun pada areal lahan (hutan) yang tidak produktif maka biaya lingkungan
yang harus dibayar menjadi (jauh) lebih rendah. Biaya sosial diasumsikan tetap
terjadi. Pada Gambar 5 garis panah besar memperlihatkan total biaya lingkungan
dan biaya sosial yang harus dibayar diasumsikan sebesar $150. Besarnya NPV
tanpa penerimaan kayu IPK (Ijin Pemanfaatan Kayu) masih lebih besar
dibandingkan besarnya NPV yang berasal dari penggunaan lahan alternatif berupa mixed
agroforestry system. Kesimpulannya, perkebunan kelapa sawit perlu
diprioritaskan untuk dibangun pada areal lahan yang tidak produktif, karena di
samping menghasilkan NPV yang lebih besar dibandingkan dengan nilai penggunaan
lahan alternatif, pembangunan perkebunan kelapa sawit pada areal lahan yang
tidak produktif juga bermanfaat untuk merehabilitasi lahan. Dengan demikian
akan menghasilkan manfaat ekonomi yang tinggi dan dapat memperbaiki kualitas
lingkungan.
0 komentar:
Posting Komentar