Sabtu, 21 Agustus 2010

Jugun Ianfu; Sejarah Kelam wanita Indonesia di masa pe njajahan jepang

Diposting oleh Raissa Indah Hanjani di 07.30







Menjelang momentum kapitulasi Jepang di Asia Pasifik kepada Tentara Sekutu pada 2 September 1945, Global Future Institute merasa tergerak untuk mengungkap kembali sejarah hitam militerisme dan fasisme Jepang pada Perang Dunia Kedua. Dengan berkedok sebagai tentara pembebasan Asia, Jepang sejatinya datang ke Indonesia sebagai penjajah baru menggantikan Belanda yang sudah 350 tahun bercokol di Indonesia.

Namun demikian, masa penjajahan dan pendudukan Jepang selama tiga tahun di Indonesia, nampaknya tak kalah penting untuk diungkap dalam buku-buku sejarah, karya sastra maupun film. Artikel berikut ini kiranya bisa menjadi referensi awal untuk studi-studi lebih lanjut berkenaan dengan sepak-terjang pemerintahan militer Jepang di Indonesia dan Asia Tenggara pada umumnya. Termasuk berbagai kejahatan perang Jepang seperti Perbudakan Sex yang kelak populer dengan sebutan Jugun Ianfu.

Jugun Ianfu adalah istilah Jepang terhadap perempuan penghibur tentara kekaisaran Jepang dimasa perang Asia Pasifik, istilah asing lainnya adalah Comfort Women. Pada kenyataannya Jugun Ianfu bukan merupakan perempuan penghibur tetapi perbudakan seksual yang brutal, terencana, serta dianggap masyarakat internasional sebagai kejahatan perang. Diperkirakan 200 sampai 400 ribu perempuan Asia berusia 13 hingga 25 tahun dipaksa menjadi budak seks tentara Jepang.

Pengertian Jugun ianfu :

Adalah istilah untuk menyebut wanita penghibur alias Comfort Women, yang menjadi perbudakan seks selama Perang Dunia II di koloni Jepang dan wilayah perang.

Wanita ini dipaksa menjadi pemuas kebutuhan seksual tentara Jepang yang ada di Indonesia dan juga negara jajahan Jepan lainnya dalam kurun waktu tahun 1942-1945.

Menurut riset oleh Dr. Hirofumi Hayashi, seorang profesor di Universitas Kanto Gakuin :

Jumlah perkiraan wanita budak seks ini termasuk orang Jepang, Korea, Tiongkok, Malaya (Malaysia dan Singapura), Thailand, Filipina, Indonesia, Myanmar, Vietnam, India, Indo, Belanda, dan penduduk kepulauan Pasifik, pada saat perang adalah berkisar antara 20.000 dan 30.000.

Menurut riset Dr. Ikuhika Hata, seorang profesor di Universitas Nihon :

Orang Japan yang menjadi jugun ianfu ini sekitar 40%, Korea 20%, Tionghoa 10%. Dan 30% sisanya dari kelompok lain.

Melakukan invansi ke negara lain yang mengakibatkan peperangan membuat kelelahan mental tentara Jepang. Kondisi ini mengakibatkan tentara Jepang melakukan pelampiasan seksual secara brutal dengan cara melakukan perkosaan masal yang mengakibatkan mewabahnya penyakit kelamin yang menjangkiti tentara Jepang. Hal ini tentunya melemahkan kekuatan angkatan perang kekaisaran Jepang. Situasi ini memunculkan gagasan untuk merekrut perempuan-perempuan lokal , menyeleksi kesehatan dan memasukan mereka ke dalam Ianjo-Ianjo sebagai rumah bordil militer Jepang.

Mereka direkrut dengan cara halus seperti dijanjikan sekolah gratis, pekerjaan sebagai pemain sandiwara, pekerja rumah tangga, pelayan rumah makan dan juga dengan cara kasar dengan menteror disertai tindak kekerasan, menculik bahkan memperkosa di depan keluarga.

Jugunianfu berasal dari Korea Selatan, Korea Utara, Cina, Filipina, Taiwan, Timor Leste, Malaysia, dan Indonesia. Sebagian kecil di antaranya dari Belanda dan Jepang sendiri. Mereka dibawa ke wilayah medan pertempuran untuk melayani kebutuhan seksual sipil dan militer Jepang baik di garis depan pertempuran maupun di wilayah garis belakang pertempuran.

Sebagian besar perempuan-perempuan yang berasal dari pulau Jawa yang dijadikan Jugun Ianfu seperti Mardiyem, Sumirah, Emah Kastimah, Sri Sukanti, hanyalah sebagian kecil Jugun Ianfu Indonesia yang bisa diidentifikasi. Masih banyak Jugun Ianfu Indonesia yang hidup maupun sudah meninggal dunia yang belum terlacak keberadaannya.

Mereka diperkosa dan disiksa secara kejam. Dipaksa melayani kebutuhan seksual tentara Jepang sebanyak 10 hingga 20 orang siang dan malam serta dibiarkan kelaparan. Kemudian di aborsi secara paksa apabila hamil. Banyak perempuan mati dalam Ianjo karena sakit, bunuh diri atau disiksa sampai mati.

Ianjo pertama di dunia dibangun di Shanghai, Cina tahun 1932. Pembangunan Ianjo di Cina dijadikan model untuk pembangunan Ianjo-Ianjo di seluruh kawasan Asia Pasifik termasuk Indonesia sejak pendudukan Jepang tahun 1942-1945 telah dibangun Ianjo diberbagai wilayah seperti Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Jawa, Nusa Tenggara, Sumatra, Papua.

Setelah perang Asia Pasifik usai Jugun Ianfu yang masih hidup didera perasaan malu untuk pulang ke kampung halaman. Mereka memilih hidup ditempat lain dan mengunci masa lalu yang kelam dengan berdiam dan mengucilkan diri. Hidup dalam kemiskinan ekonomi dan disingkirkan masyarakat. Mengalami penderitaan fisik, menanggung rasa malu dan perasaan tak berharga hingga akhir hidupnya.

Kaisar Hirohito merupakan pemberi restu sistem Jugun Ianfu ini diterapkan di seluruh Asia Pasifik. Para pelaksana di lapangan adalah para petinggi militer yang memberi komando perang. Maka saat ini pihak yang harus bertanggung jawab atas kejahatan kemanusiaan ini adalah pemerintah Jepang.

Pemerintah Jepang masa kini tidak mengakui keterlibatannya dalam praktek perbudakan seksual di masa perang Asia Pasifik. Pemerintah Jepang berdalih Jugun Ianfu dikelola dan dioperasikan oleh pihak swasta. Pemerintah Jepang menolak meminta maaf secara resmi kepada para Jugun Ianfu. Kendatipun demikian Juli 1995 Perdana Menteri Tomiichi Murayama pernah menyiratkan permintaan maaf secara pribadi, tetapi tidak mewakili negara Jepang. Tahun 1993 Yohei Kono mewakili sekretaris kabinet Jepang memberikan pernyataan empatinya kepada korban Jugun Ianfu. Namun pada Maret 2007 Perdana Menteri Shinzo Abe mengeluarkan pernyataan yang kontroversial dengan menyanggah keterlibatan militer Jepang dalam praktek sistem perbudakan seksual.

Pemerintah Indonesia menganggap masalah Jugun Ianfu sudah selesai, bahkan mempererat hubungan bilateral dan ekonomi dengan Jepang paska perang Asia Pasifik. Namun hingga kini banyak organisasi non pemerintah terus memperjuangkan nasib Jugun Ianfu dan terus melakukan melobi ke tingkat internasional untuk menekan pemerintah Jepang agar menyelesaikan kasus perbudakan seksual ini. Kemudian upaya penelitian masih terus dilakukan untuk memperjelas sejarah buram Jugun Ianfu Indonesia,berpacu dengan waktu karena para korban yang sudah lanjut usia.

Banyak masyarakat yang merendahkan, serta menyisihkan para korban dari pergaulan sosial. Kasus Jugun Ianfu dianggap sekedar “kecelakaan” perang dengan memakai istilah “ransum Jepang”. Mencap para korban sebagai pelacur komersial. Banyak juga pihak-pihak oportunis yang berkedok membela kepentingan Jugun Ianfu dan mengatasnamakan proyek kemanusiaan, namum mereka adalah calo yang mengkorupsi dana santunan yang seharusnya diterima langsung para korban.

Juli 1995 Asian Women’s Fund (AWF) didirikan oleh organisasi swasta Jepang. Organisasi ini dituduh sebagai “agen penyuap” untuk meredam protes masyarakat internasional dan tidak mewakili pemerintah Jepang secara resmi. Di masa pemerintahan Soeharto Tahun 1997 Menteri Sosial Inten Suweno menerima dana santunan bagi para korban sebesar 380 juta yen yang diangsur selama 10 tahun. Namun banyak para korban menyatakan tidak pernah menerima santunan tersebut.

Berikut adalah beberapa tuntutan dari para korban jugunianfu:

  1. Pemerintah Jepang masa kini harus mengakui secara resmi dan meminta maaf bahwa perbudakan seksual dilakukan secara sengaja oleh negara Jepang selama perang Asia Pasifik 1931-1945.
  2. Para korban diberi santunan sebagai korban perang untuk kehidupan yang sudah dihancurkan oleh militer Jepang.
  3. Menuntut dimasukkannya sejarah gelap Jugun Ianfu ke dalam kurikulum sekolah di Jepang agar generasi muda Jepang mengetahui kebenaran sejarah Jepang.

Tahun 1992, untuk pertama kalinya Kim Hak Soon korban asal Korea Selatan membuka suara atas kekejaman militer Jepang terhadap dirinya ke publik. Setelah itu masalah Jugun Ianfu terbongkar dan satu persatu korban dari berbagai negara angkat suara. Kemudian tahun 2000 telah digelar Tribunal Tokyo yang menuntut pertanggung jawaban Kaisar Hirohito dan pihak militer Jepang atas praktek perbudakan seksual selama perang Asia Pasifik. Tahun 2001 final keputusan dikeluarkan di Tribunal The Haque. Setelah itu tekanan internasional terhadap pemerintah Jepang terus Dilakukan. Oktober 2007 kongres Amerika Serikat mengeluarkan resolusi tidak mengikat yang menekan pemerintah Jepang memenuhi tanggung jawab politik atas masalah ini . Meski demikian pemerintah Jepang sampai hari ini belum mengakui apa yang telah diperbuat terhadap ratusan ribu perempuan di Asia dan Belanda pada masa perang Asia Pasifik.


KISAH SUMIRAH "JUGUN IANFU" ASAL SALATIGA



Salatiga merupakan kota kecil dengan langgam kehidupan yang tenang dan damai namun menyimpan sejarah yang begitu pahit masa kolonialisasi Jepang di Indonesia tahun 1942-1945. Sejumlah perempuan muda asal Salatiga diculik paksa militer Jepang untuk dijadikan Jugun Ianfu (budak seks militer Jepang). Sedikit dari para perempuan tersebut yang bersedia mengungkap sejarah kelam periode Jepang. Salah satunya Sumirah, perempuan muda nan cantik berasal dari Dusun Kemasan.

Sore itu Sumirah yang baru berusia 14 tahun sedang menyusuri Jalan Gendingan, Semarang dengan sepeda barunya. Ternyata disekitar lokasi itu Sumirah melihat beberapa tentara Jepang sedang memaksa sejumlah perempuan muda menaiki trus tentara. Melihat kejadian itu Sumirah muda bukannya menyingkir dari bahaya yang mengintai, malahan tertegun kaget diliputi perasaan takut. Tanpa disadari seorang tentara Jepang sudah berada di samping Sumirah dan memaksanya ikut naik keatas truk. Tanpa berdaya Sumirah terpaksa mengikuti kemauan tentara Jepang tersebut dan meninggalkan sepeda barunya tergolek di tanah.

Selanjutnya truk tersebut berjalan menuju daerah Pandan Sari sebuah lokasi berasrama yang bernama Semarang Kurabu (Club Semarang). Dilokasi ini ternyata telah ada lima truk tentara Jepang yang mengangkuti perempuan-perempuan keturunan Arab, Cina dan juga Belanda. Dari kelima truk, hanya satu truk yang terpilih yang didalamnya terdapat Sumirah muda.

Para perempuan muda ini diberitahu salah seorang serdadu Jepang untuk meminta mereka bekerja untuk militer Jepang, saat itu dijelaskan juga bahwa kesempatan ini diberikan kepada mereka (para perempuan) bekerja sebagai perawat. Militer Jepang berjanji akan memberikan upah kerja dan mencukupi semua kebutuhan hidup mereka. Dengan lantang serdadu itu berseru,”Apakah semua mau pekerjaan ini?”,terdengar jawaban serentak”Mau”.

Tak lama setelah memberikan jawaban itu, para perempuan tersebut memasuki bangunan Semarang Kurabu, bangunan bergaya arsitek Belanda yang telah direbut Jepang dari pemiliknya orang Belanda. Setiap orang diberi kamar yang sudah dilengkapi dengan sabun, sikat gigi, odol, dan minyak wangi. Setelah itu setiap perempuan diperiksa kesehatan oleh seorang Dokter Jepang.

Hari-hari berikutnya ternyata para perempuan ini dipaksa melayani kebutuhan seksual tentara Jepang yang mengunjungi Semarang Kurabu. Bila menolak melayani maka pukulan, tendangan dan tempelengan yang diterima sebagai akibat penolakan. Sejak hari ini dan seterusnya adalah neraka bagi para
perempuan tersebut. Selain harus melayani di Semarang Kurabu, seringkali Sumirah harus melayani para perwira di Hotel Du Pavillon dan Hotel Oewa Asia yang lokasinya tidak terlalu jauh dari Semarang Kurabu.
Di Semarang Kurabu ternyata Sumirah perempuan terncantik diantara perempuan lainnya, hingga seorang perwira Jepang bernama Yatsusita Matsuo jatuh hati kepada kecantikan dan kemolekan Sumirah, serta merta mengambilnya dari Semarang Kurabu. Kemudian menempatkan Sumirah di rumah Belanda yang kosong di Jalan Gendingan, lokasinya tidak jauh dari Semarang Kurabu. Rumah itu dulunya milik seorang Belanda yang bekerja sebagai agen mesin jahit Singer.
Sejak saat itu Sumirah menjadi monopoli Matsuo, tidak heran perwira Jepang itu bisa melakukan hal ini mengingat kedudukannya cukup tinggi sebagai komandan Heiho di Semarang yang cukup disegani. Sumirah dicukupi kebutuhan hidupnya oleh Matsuo. Jika ada waktu senggang Sumirah bersama Matsuo kerap mengunjungi Dusun Kemasan tempat kelahiran Sumirah. Hingga akhirnya orang-orang di dusun itu mengetahui bahwa Sumirah telah menjadi istri seorang tentara Jepang.
Tahun 1945 pada saat Jepang mengalami kekalahan perang Asia Pasifik, Sumirah dan Matsuo menyingkir dari Semarang ke Magelang. Di tempat ini Matsuo dilucuti senjatanya dan ditahan oleh pihak TKR (tentara Keamanan Rakyat) sebagai tawanan perang. Dari Magelang Matsuo dipindahkan ke Purwokerto untuk di interniran, selanjutnya dipindahkan lagi ke Rembang untuk diserahkan ke tangan sekutu di Pulau Galang, Riau bersama sekitar 4700-an tawanan perang Jepang asal Jawa Tengah untuk dipulangkan ke Jepang.
Sejarah kelam itu telah berlalu enam puluh tahun lebih, namun demikian jejak sejarah Jugun Ianfu sangat menarik untuk diterlusuri kembali dan masih relevan dengan persoalan politik kontemporer yang masih menyoal persoalan perbudakan seksual dalam bingkai hak asasi manusia dan kepentingan sejarah yang masih belum diakui dalam koridor kesejarahan Indonesia.
Tiga lokasi Ianjo di Kota Semarang itu coba saya telusuri, tidak mudah memang karena hanya mengandalkan memori Sarmudji tanpa disertai catatan dokumen. Lokasi Ianjo yang pertama ditemukan di bagian utara kota Semarang adalah Hotel Oewa Asia (Oewa=Baik). Hotel ini masih berdiri kokoh dengan wajah arsitektur yang tidak banyak berubah, fungsinya pun masih sama sebagai tempat penginapan dengan kamar yang disewakan sekitar 40 kamar. Pada masa kolonial Belanda Hotel ini dinamai Hotel Oewa, begitu Jepang masuk hotel ini diambil alih dan diberi tambahan nama Asia.
Berjalan kaki kearah selatan ditemukan Hotel Du Pavillon masih menampakan kemegahan masa silam. Hotel tersebut telah berdiri sejak tahun 1847, lokasinya berada ditengah keramaian Jalan Pemuda. Hotel ini menempati lahan seluas 10.000 m2. Paska tahun 1945 hotel ini telah berganti-ganti tangan pengelola mulai dari Pemerintah Kota Semarang, Departemen Perhubungan dan Departemen Parawisata. kemudian tahun 1976 diambil alih sepenuhnya oleh Departemen Keuangan yang bermitra dengan PT Natour mengelola hotel ini dan mengganti nama Du Pavillon menjadi Inna Dibya Puri.
Bangunan fisik hotel ini tidak berubah hanya beberapa tambahan kecil saja kelihatan seperti selasar lobi hotel yang dibangun paska tahun 1945. Penataan fisik yang kurang sesuai dengan nilai sejarah bangunan kuno ini menjadikan wajah Inna Dibya Puri kehilangan roh kesejarahannya. Hotel yang memiliki 61 kamar ini masih berfungsi sebagai hotel bintang 2.
Pencarian terhadap Semarang Kurabu paling sulit, lokasi ini nyaris tidak ditemukan karena memori Sarmudji meluntur dibagian ini. Berbekal tekad dan keyakinan, akhirnya Semarang Kurabu ditemukan searah selatan Hotel Du Pavillon. Semarang Kurabu kini merupakan rumah pribadi dari keturunan Tionghoa Semarang. Namun demikian aroma sejarah masih bisa terendus di daerah itu yang merupakan daerah pemukiman padat dari Kampung Pandan Sari.
Beberapa saksi bisu berupa tembok tua yang telah berdiri sejak masa kolonial Belanda menyaksikan masa dimana sejumlah perempuan asal Salatiga dipaksa menjadi Jugun Ianfu di lokasi itu. Meski Sumirah dan para perempuan lainnya telah meninggal dunia, namun jejak sejarahnya masih berdiri kokoh. Jejak sejarah inilah yang bisa menjadi saksi bagi kita semua generasi muda yang menghargai sejarah dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.



0 komentar:

Posting Komentar

 

Chacha Mari Cha Copyright © 2010 Designed by Ipietoon Blogger Template Sponsored by Online Shop Vector by Artshare

welcome to chacha blog.